× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#HUMANIORA

The Next Of Magellan

Nelayan-nelayan tangguh
The Next Of Magellan
Nelayan dan senja hari (Sumber; Google)

28/01/2020 · 5 Menit Baca

Di antara dua waktu: subuh yang mengantarkan langkah ke mesjid serta siang menyengat yang menyempitkan mata.

Adalah waktu di mana perahu-perahu nelayan mengaduh pada laut lepas--melepas tali jangkar pada saat fajar, menyapa semesta serta kembali pulang pada waktu di mana para pengajar di sekolah sibuk mendidik anak-anak, lalu kembali menjulurkan kail pada siang yang gersang hingga Magrib yang menghantar sang surya kembali ke cakrawala--aku menyebut meraka, Ferdinan Magellan, para pelaut tangguh.

Jarang rasanya sebagai mahasiswa yang hidup dengan ekonomi pas-pasan, di kamar kost menyantap ikan segar yang baru saja ditaklukan oleh nelayan tangguh--menangkap dengan cara yang masih tradisional. Ini yang menjadi satu dari sekian alasan saya kembali memeluk rindu di sela-sela libur, pada tempat di mana saya menghabiskan masa kacil dahulu.

Tepat di sebuah desa di pulau Halmahera, menghadap langsung dengan gugusan pulau nan elok: Pulau Tidore, Mare, Moti, Makeang, dan Kayoa.

Salah satu desa di daratan Halmahera, Desa Maidi namanya, masuk dalam wilayah administratif Kota Tidore Kepulauan (Tikep).

Desa ini juga konon merupakan salah satu desa paling tua di pesisir Halmahera, bahkan dalam litelatur Pemberontakan Nuku yang ditulis oleh Muridan Widjojo, desa ini di sebutkan sebanyak dua kali; pertama, orang-orang yang bekerja di dapur istana Kesultanan Tidore, mayoritas orang-orang Maidi. Kedua, Maidi dijadikan sebagai distrik di mana Kompeni memata-matai pergerakan Sultan Nuku. 

Desa ini memang memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Tidore, bahkan sampai sekarang, ritual pergantian tiang Alif dari mesjid Kesultanan Tidore di Kelurahan Soasio, selalu melibatkan orang dari Desa Maidi.

Ada semacam risalah yang saya dapat dari hasil diskusi bersama tetua kampung, yang menyebutkan bahwa Maidi dulunya merupakan penyuplai bahan dapur untuk Kerajaan Tidore. Bukti sejarahnya adalah sebuah lahan yang membentang kurang lebih 1000 Hektare yang diisi dengan jutaan pohon sagu. Daerah ini kemudian di sebut Aha kolano dalam bahasa Tidore berarti Tanah Raja.

Sejak dulu masyarakat Maidi berprofesi sebagai petani dan nelayan.  Ini merupakan cara mereka memyeimbangi kehidupan dengan mengais rezeki dari dua elemen yaitu air dan tanah. Rata-rata, masyarakat profesinya petani kelapa dan sagu. hanya sebagian kecil dari mereka yang mimilih laut sebagai tempat mengadu nasib.

Sampai hari ini, tersisa kurang lebih enam perahu pambot, yang kerap berlayar menagkap ikan. Saya, sesekali membayangkan, jika orang-orang ini tidak lagi mengerjakan profesinya sebagai nelayan, berapa banyak anak-anak yang akan kekurangan nutrisi otak?

para pelaut ini biasanya berlayar mencari ikan di waktu fajar dan kembali ke daratan hampir siang hari, pukul 11.00 WIT, lalu kembali berangkat lagi sekitar pukul 15.00 WIT dan kembali menjelang Magrib sampai waktu Salat Isha,. Mereka berjibaku dengan dingin, menaruh nasib pada mata kail dan juga tak ada kepastian apa akan membali dengan selamat ataukah tenggelam terombang ambing di laut lepas. Hanya ikhtiar yang selalu mereka tanamkan. Ukuran perahu pambot yang hanya 2,5 meter tentu belum cukup aman bila para nelayan ini dihadang badai.

Bila berangkat selepas subuh, biasanya istri dan anak-anak mereka mengantar sampai pada bibir pantai dan mereka akan kembali ke rumah jika pambot ayah sudah terhalang oleh gelap. Tentu berat rasanya melepas pergi seorang nelayan yang mengadu nasib di tengah biru air laut, meski kemungkinan--mereka tak lagi kembali, ketika laut murka. Namun, bagi mereka, Tuhan tidak akan menyusahkan orang-orang yang berjuang.

Sore hari yang indah, puluhan anak-anak bergembira, berenang di pantai sambil tertawa, menyaksikan matahari mendekati ujung cakrawala. Ibu-ibu mendekati pantai, di mana perahu-perahu nelayan akan berlabu. Menenteng bokor dan kantong plastik untuk menaruh ikan-ikan segar dari laut lepas, bila nelayan-nelayan itu penuh rezeki. sambil berbincang tentang uang sekolah anak dan kondisi dapur rumah.

Para lelaki duduk beramai-ramai di atas pasir yang masih hangat oleh sinar mentari siang tadi, berbicara tentang kelapa dan para-para yang sudah lapuk. Remaja-remaja beramai-ramai membicarakan kondisi pendidikan serta tugas sekolah. Rasanya menanti nelayan pulang dari laut, juga membuka silahturahmi di bibir pantai.

Saat jingga mulai tertutup gelap, dan gelap mulak membatasi jarak pandang, terdengar perlahan bunyi mesin perahu pambot yang menandakan nelayan-nelayan tangguh ini sudah dekat, para istri-istri nelayan dalam hatinya menaru harap, semoga hari ini cukup untuk makan besok dan lusa.

Sesaat setelah mesin pambot di matikan, orang-orang akan mendekati pambot, membantu mendorong perahu ke pantai hingga dianggap aman dari pasang air laut nanti malam.

Dalam malam yang sunyi setelah selepas Isha, saya menyempatkan diri bertamu pada rumah seorang nelayan. Ia menjadi nelayan sejak belum berumah tangga. Tentunya saya penasaran bagaimana mereka berjibaku dengan dingin subuh dan sengatan panas matahari siang bolong di tengah laut.

Saya memulai perbincangan dengan menceritakan Festival Kampung Nelayan Tomalou yang akan diselenggarakan tahun ini. Beliau menaruh telingga dengan senyum, mendengarkan cerita saya.

saya langsung dengan satu pertanyaan, apakah Om merasa profesi sebagai nelayan cukup menghidupi keluarga dan biaya anak sekolah?

Jawaban 'filosofis' pun terucap dari nelayan itu, yang belum saya temukan ketika berdiskusi dengan aktivis-aktivis mahasiswa di warung kopi maupun kantin di kampus.

"Memancing ikan adalah pekerjaan yang melatih kesabaran, dan membaca kondisi lautan adalah membaca takdir Allah. Bagaimana mungkin saya merasa tidak cukup menghidupi keluarga bila setiap harinya saya dilatih bersabar di tengah lautan yang tak ada satupun tempat mengadu kecuali Allah," kata nelayan itu.

"Dan bagiamana mungkin pekerjaan membaca cuaca belum cukup untuk menyekolahkan anak-anak saya," ucapnya, perlahan sambil tersenyum.

Ini adalah semangat mereka dalam merawat laut, "lautan adalah kuburan bagi mereka yang takabur dan dia (lautan) hanya bisa ditaklukkan dengan ikhtiar," tambah pria itu, sambil menatap atap rumah.

Saya pun terpatung. Cukup lama, memikirkan makna yang terkandung dalam kalimat--setiap jawaban yang penuh makna itu. Saya sempat menggeleng kepala, sambil menyeruput kopi di tengah nyala pelita.

Kami bercerita banyak, mulai dari bagaimana kondisi laut, hingga jenis gomala (mata Kail) yang biasa digunakan. Sesekali, Ia menyesali karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap nelayan-nelayan. Mereka tentunya membutuhkan bantuan berupa perahu yang layak sampai bagaimana memasarkan hasil tangkap.

"Andai saja pemerintah memperhatikan, pastinya hasil tangkap kami akan sedikit lebih di hargai, bahkan kerap kali pemerintah memberikan bantuan tidak tepat sasaran, kami yang nelayan diberikan bantuan mesin pangkas rumput dan para petani diberikan bantuan perahu ketinting," katanya, sambil menggenggam gelas kopi.

Mendengar itu, saya pun berasumsi: Bagaimana mungkin pemerintah menjadi 'setolol' itu, bahkan tidak mengerti soal profesi masyarakat? Mungkin, Inilah akibat dari mereka yang sibuk bermain gawai di jam kerja, jarang bersentuhan dengan masyarakat?

Seharusnya, kita bersyukur. Sebab, nelayan-nelayan inilah yang setiap harinya mengisi kekosongan di dapur-dapur masyarakat dengan wangi ikan segar. Nelalayan-nelayan inilah yang setiap harinya membantu nutrisi otak anak-anak desa dengan ikan. Nelayan-nelayan inilah yang setiap kali menyediakan kebutuhan dapur dengan hode (ikan) pada sitiap hajatan berupa acarah nikah, aqikah, dan selamatan, sampai pada duka orang meninggal. Sudah seharusnya kita menaruh perhatian pada mereka.


Share Tulisan Abubakar Ismail


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca