× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#POLITIK

Kaum Muda Melawan Penjinakan

Generasi kita minin sekali kaum muda yang meletakkan prinsipnya bersama rakyat.

Jurnalis Mahasiswa
Kaum Muda Melawan Penjinakan
arahjuang.com

13/11/2019 · 5 Menit Baca

Peran kaum muda cukup penting saat mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Chaerul Saleh, Wikana, Jusuf Kunto dan beberapa di antara kaum muda lainnya, di malam 16 Agustus 1945, membawa Soekarno dan Muhammad Hatta ke Rengasdengklok. Mereka menilai momennya sangat penting agar kedaulatan bangsa Indonesia mekar bukan pemberian dari penjajah Jepang. Mereka juga meyakini bahwa sudah saatnya Indonesia berdiri di atas tanah sendiri dengan merdeka. 

Bukan perkara mudah untuk mendesak kedua tokoh proklamasi itu. Kaum muda harus menguras energi untuk mempertaruhkan gagasan. Dengan cukup berani mereka berdebat, beradu argumentasi, yang sangat alot. Kaum tua dikritik habis-habisan lantaran dinilai lamban, konyol dan tak punya nyali saat Jepang dikalahkan oleh sekutu. Pun sebaliknya, kaum tua menganggap, sikap kaum muda terlalu tergesa-gesa dan gegabah. Seperti air, semangat itu mengalir deras tak henti. Hingga kita tahu, pada esok hari, tepat pada Jumat, 17 Agustus 1945, teks proklamasi yang ditulis tangan itu dibacakan. 

Dari situ, proklamasi terus jadi api dan nyala di mana-mana. Dari situ pula, perdebatan kaum tua dan kaum muda seperti dipelihara; tak pernah berhenti. Semacam adagium meredam api tapi menggunakan ilalang kering . Konfrontasi pemikiran jadi ciri khas kaum muda. Kritik terbuka, hingga mendominasi gerakan massa sebagai sikap loyalitas kala itu. Mereka tidak memandang tokoh pergerakan semacam Soekarno, Hatta, dan lainnya sebagai aktivis politik yang sering dibuang, dipenjarakan, diasingkan dan diteror  itu harus jadi panutan.  Bukan soal itu. Tapi soal pandangan kaum tua yang tidak bisa diterima begitu saja tanpa diperdebatkan dalam merumuskan wajah Republik ke depan.

Kaum muda kala itu seperti singa yang kelaparan: mengutuk apa yang dianggap kolot dan terus mengadukan gagasan-gagasan yang tepat dalam mencari filosifi bangsa. Dasar negara jadi saksi di mana pertarungan gagasan kaum muda dan kaum tua diadu.

Itulah mengapa kaum muda sering dikatakan bagian tak terpisahkan dengan perjalanan bangsa Indonesia. Walau demikian, problem mendasar yang saat ini sedang dihadapi kita kaum muda (selain melawan penjajahan ) ialah menempatkan diri ditengah-tengah dominasi kaum tua yang kolot. Kedua golongan  antara kaum muda dan kaum tua  ini sudah menjadi dikitomi dalam sejarah dan politik Indonesia. Ada yang mengkategorisasi usai kaum muda hanya sebatas 15-25 tahun, namun kategori ini cukup parsial dan fomalis. Patokan itu tidak bisa jadi acuan, karena ‘sosok kaum muda bukan soal usia, tapi sikap, prinsip dan mentalitas. Itulah garis demarkasi yang harus dicatat.
 
Dilema

Setelah pertarungan sengit politik Indonesia tahun 65-66 yang menewaskan jutaan manusia, tak banyak terdengar konfrontasi pemikiran kaum tua dan kaum muda. Ada, namun selalu berakhir dipenjara. Masa rezim Soeharto, seperti kita semua tahu, kritik terhadap pemerintah sama halnya dengan mengantarkan diri ke penjara dan menghabisi nyawa. Semua dijawab dengan penculikan, penangkapan, dan pembunuhan. Tidak sedikit kaum muda yang trauma, namun tidak sedikit pula yang membangkang, mementang kekuasaan. Puncaknya pada mei 1998. Rezim otoriter Orde Baru (Orba) berhasil ditumbangkan oleh kekuatan rakyat dan kaum muda. Namun, warisan kolot kaum tua mengakar, tidak banyak sistem penjinakkan yang dihapuskan. Hingga ciri khas kaum muda tak lagi bergema, semacam tenggelam, hilang dihantam gelombang peradaban dan politik Indonesia.

Memang banyak lahir politisi muda, namun sibuk mengekori ketiak kaum tua warisan Orba. Korupsi, gemar menggusur, ikut merampas tanah rakyat, berkeyakinan lembek dan lebih parah lagi turut menentang perubahan radikal dan malas mendukung kaum muda yang progresif. 

Dalam dunia pendidikan, bahkan lebih parah. Dosen seolah-olah jadi pembenaran ilmu pengetahuan. Tak banyak bila tidak mau dikatakan tidak ada  perdebatan yang lahir di sana. Dosen dan mahasiswa hanya semacam tuan dan budak: mengikuti apa yang dikehendaki dan meninggalkan apa yang dilarang. Minim perdebatan dan miskin gagasan. Mahasiswa percaya begitu saja apa yang dikatakan dosen yang sudah tua tanpa mengkritik argumennya yang bebal. Bila pun ada pertentangan, langsung dicap kurang ajar, bahkan sering dihambat dalam pengurusan perkuliahan.

Situasi itu kerap terjadi. Dosen dan birokrasi kampus lebih suka dengan mahasiswa yang aktifitas kuliahnya rajin, tugas deadline, dan tidak banyak bacot, atau bikin ulah.  Sehingga, generasi kita yang mewarisi tingkat sejarah yang cukup rumit ini hanya digodok dengan ilmu hasil impor untuk siap jadi sapi perahan. Target sistem pendidikan kita memang tertuju pada generasi sekarang, agar kaum tua leluasa memfatwa dan kaum muda hinggap dilema.

Kelas-kelas banyak dihuni oleh mahasiswa generasi Z yang sibuk mengurus studi club Selfy, YouTubers, instagramer, jalan-jalan, muncak dan nongkrong berjam-jam di kantin sekedar bahas pasangan dan karir setelah wisuda. Generasi Z dan pendahulunya, millenial, tak bisa hidup tanpa smartphone maupun media sosial. Hampir semua media sosial ‘tak mau’ ketinggalan. Mereka lebih suka berbondong-bondong ke Mal ketimbang ke tokoh buku dan perpustakan. Generasi Z seperti hidup hanya dalam berandai-andai. Mengimpikan kemapanan di tengah sistem yang bebal dan menindas.

Mahasiswa generasi millenial mirip komandan: siap mematuhi aturan kampus yang diskriminatif. Titik penegas diantaranya tidak ada. Generasi kita memang kehilangan banyak hal, mulai dari mengkritik kaum tua yang kolot, mengkonfrontasi gagasan, menentang kemapanan, melawan penindasan, membangkang aturan kampus, menuntut perbaikan hidup, memberi ruang demokrasi kampus, hingga paling progresif ialah menentang kekuasaan dan menuntut untuk menggantikan rezim. Kaum muda yang sering dilabeli pemberani sekarang lebih mudah menjadi pengikut, bahkan mengekori kekuasaan. 

Generasi kita minin sekali kaum muda yang meletakkan prinsipnya bersama rakyat. Lebih suka menjadi peliharaan kaum tua. Apa yang dikatakan kaum tua semacam “firman Tuhan” yang tak bisa lagi ditentang dan dikritik. Bagi saya, ini adalah suatu krisis. Kita sedang dilanda badai, di mana sistem sosial dijinakkan dengan aturan yang mengekang dan budaya yang barbar. Anak muda jadi pasukan ngawur; dididik untuk jadi mesin represif dan patut meneladani kekolotan romantisasi perjuangan kaum tua. Rujukannya cuma sebatas, angkatan 1945, dan 1998, yang tak lain ialah generasi mereka sendiri.

Melawan Penjinakan 

Pikiran kaum tua sangatlah dangkal. Generasi kita tidak boleh mengikuti arahan kaum tua. Mereka punya masa sendiri, dan kita pun demikian. Tidak ada platform perjuangan yang sesat, selama musuh kita adalah ketidakadilan dan penindasan. Jarak waktu kaum muda dan kaum tua jelas berbeda. Tak boleh dramatisir gerakan yang acuannya jelas-jelas mendukung kemapanan dan membiarkan kesengsaraan terjadi. Kita punya cara sendiri untuk menghadapi zaman yang jarak zamannya jauh berbeda.

Orang tua belaga lupa, bahwa ada jiwa zaman tersendiri bagi generasi muda. Ada bara tiap generasi yang siap menyala. Bila kaum tua murka dengan kaum muda yang menolak "dibimbing", itu wajar. Kami tidak mau lagi generasi kami terjerembab ditengah jalan yang sesat dan sekedar jadi serdadu kekuasaan. Di era sekarang, kaum tua tidak bisa dipercaya lagi. Banyak yang sudah jadi bandit, calo, kacung yang sekujur tubuhnya sudah menghisap keringat kaum miskin. Teori, konsep, filosofi, dalih dan semacamnya tak bisa lagi digunakan, ia berbenturan dengan kondisi sosial. Tak selaras dengan nafas kemanusiaan.

Kita, kaum muda, sebagai bagian dari kelompok sosial, mempunyai banyak waktu untuk belajar dan tidak mudah menerima serta mengabdikan ide-ide yang berkembang termasuk ide-ide kaum tua. Saatnya kita punya perspektif sendiri dalam melihat peradaban dan perkembangannya. Angkatan terdahulu telah menunjukan kepeloporannya di tengah represifitas rezim Orba dan berhasil menjatuhkannya dari tampuk kekuasaan. Saat ini, tugas kita untuk bersatu, melawan tirani dan menggantikan dengan sistem yang manusiawi.


Share Tulisan Ajun Thanjer


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca