× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#HUMANIORA

Bom Bunuh Diri, Sampai di Mana Keyakinanmu?

Bunuh diri soal keraguan atau keyakinan?

Metafisikawan
Bom Bunuh Diri, Sampai di Mana Keyakinanmu?
Foto: ist

13/11/2019 · 1 Menit Baca

Rabbial Muslim Nasution, pelaku bom bunuh diri di halaman Kantor Polrestabes Medan, Sumatera Utara, diduga melakukan penyerangan seorang diri dan tidak berafiliasi dengan jaringan teroris atau dikenal dengan istilah Lone Wolf. Hal itu diketahui setelah polisi melakukan penyelidikan terkait kasus tersebut.

Kurang menarik persoalan bom bunuh diri tersebut jika dikaji dari sisi masalah terorisme ataupun praktik agama tertentu yang terkadang menganjurkan pengorbanan jiwa seseorang sebagai sebuah nilai tertinggi pengabdian kepada siapa pun yang dianggap sesuatu yang paling tinggi.

Bunuh diri, sebenarnya tak hanya persoalan pengorbanan kepada siapa, bunuh diri juga bisa jadi bentuk sebuah penyesalan atas sebuah tindakan tertentu. Bunuh diri juga bisa menjadi ekspresi atas keputusasaan.

Inti dari bunuh diri adalah adanya sebuah persepsi tentang sesuatu yang dianggap final dan meyakinkan berupa kebaikan atau keburukan. Bisa dikatakan, bunuh diri adalah tindakan final sebuah persepsi terkait keyakinan sesuatu.

Jika ditelisik lebih inti lagi, persoalan substansi bunuh diri adalah keyakinan seseorang. Tak ada keraguan.

Saya teringat akan seorang filsuf Muslim kenamaan Ibnu Sina, yang lebih dikenal sebagai bapak kedokteran. Beliau pernah membahas persoalan keyakinan yang ada dalam diri manusia dalam buku Al Isyarat wa at Tanbiihat.

Pertanyaan paling mendasar yang bisa diajukan jika membaca karyanya itu adalah, apakah manusia bisa mencapai sebuah keyakinan yang hakiki. Hakiki dalam artian tak mungkin lagi tergoyahkan dan final. Jika membandingkan dengan Descartes, seorang filsuf Barat, untuk mencapai keyakinan seseorang bahkan harus meragukan sesuatu, hingga pada akhirnya yang dia yakini ketika meragukan seseuatu adalah bahwa dirinya sedang ragu.

Dan hal itu tidak mungkin terbantahkan dengan apapun dan dengan cara apapun. Jika dirinya juga meragukan bahwa dirinya sedang meragukan sesuatu, bagaimana mungkin dia bisa meyakini keraguan tersebut.

Sementara itu, Ibnu Sina memandang bahwa sangat sulit manusia mencapai sebuah keyakinan yang final (Haqul Yaqin). Selama masih diberikan logika untuk memikirkan sesuatu, maka keraguan selalu akan menggelayuti.

Mungkin analogi yang lebih mudah dipahami adalah terkait keyakinan. Ada tiga tingkatan keyakinan yang biasa dibincangkan oleh para teosof terkait persoalan tersebut. Tingkatan keyakinan pertama adalah Ilmu al Yakin, kedua Ain al Yaqin dan yang ketiga adalah Haq al Yakin.

Barangkali dengan logika kita masih sangat mungkin meyakini keberadaan Tuhan. Namun hal itu masih dalam tahap mengolah premis-premis yang ada di kepala sehingga keberadan Tuhan diyakini kebenarannya. Itu yang kemudian disebut sebagai Ilmu al Yakin. Mungkin, premis-premis tersebut bisa gugur jika kembali ditelisik dan menemukan fakta baru yang lebih menguatkan terkiat ketiadaan Tuhan.

Tahap kedua adalah Ain al Yakin, dimana keyakinan manusia yang diperoleh dari dirinya mengalami sendiri tentang keberadaan Tuhan. Dalam hal ini sangat subjektif kebenaran yang didapat dan bukan dalam tataran persepsi akal. Dia yakin setelah merasakan sendiri Tuhan hadir dalam dirinya tanpa jarak, sangat dekat. Namun keyakinan akan keberadaan Tuhan tersebut masih juga bisa diragukan, karena masih terdapat jarak antara dirinya dengan objek (ain).

Tahap ketiga, keyakinan yang tak dapat digoyahkan adalah Haq al Yaqin. Artinya, dirinya dengan sebenar-benarnya tanpa jarak subjek dengan objek yang diyakini, tak ada antara (jarak). Dia sudah tak lagi dapat membedakan antara. Seolah keduanya menyatu. Maka dari itu dalah tradisi sufistik, wahdah al Wujud atau yang dikenal Manunggal Ing Kawula Gusti begitu popular.

Dalam hal ini, kita juga bisa mempertanyakan praktik bom bunuh diri yang dilakukan Rabbial Muslim Nasution dan orang-orang lain atas nama apa pun, apakah sudah mencapai titik akhir sebuah keyakinan. Namun, persoalannya orang yang telah meninggal dunia tersebut tak dapat kembali bangkit dan diajak untuk berdiskusi terkait keyakinannya. Salam.


Share Tulisan Achmad Kirin


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca