× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#ESAI

Racun Demokrasi

Politik untuk menjadi hartawan dan berharta demi kekuasaan politik.
Racun Demokrasi
ilustrasi. pixabay

05/06/2020 · 3 Menit Baca

Kapasitas untuk menggunakan kekayaan secara strategis muncul sebagai salah satu sumber daya kekuasaan paling penting dalam politik elektoral di Indonesia. Lalu dengan itu pula, merebak korupsi, kinerja para pejabat terpilih yang buruk, kepemimpinan yang tidak tegas, jamak kita dengar dan lihat.

Ini seperti bermula dari sebuah nama yang sepuh sekali. Setua para filsuf Yunani Kuno yang menyebutnya sebagai plutokrasi yang kini lebih populer sebagai oligarki. Alih-alih membawa perubahan, demokrasi elektoral hasil reformasi justru memperkuat siklus hartawan menjadi penguasa. Politik untuk menjadi hartawan dan berharta demi kekuasaan politik.

Salah satu yang lazim kita dengar bahkan lihat, adalah "Politik Uang". Ia menjadi racun yang mengganggu keberlangsungan hidup manusia berbangsa dan bernegara. Kini, kita mulai ancang-ancang untuk kembali memasuki babak itu. Dalam konteks politik lokal dan hendak melaksanakan Pilkada yang sudah direstui Pemerintah beserta DPR, Desember mendatang. 

Sebagai warga negara, bisa kita mulai dengan mengamati startnya dalam mekanisme penjaringan calon kepala daerah oleh sejumlah partai politik. Di mana sebelum-sebelumnya, sistem penjaringan cenderung tertutup, tidak transparan. Belum lagi fenomena mahar politik yang selalu mengiringi proses penjaringan sehingga hal ini dinilai berkolerasi dengan tumbuh suburnya praktik korupsi, politik uang dan lain sebagainya di masa kemudian.

Ada hal yang sangat menarik ketika dilakukan survei persepsi masyarakat terhadap politik uang. Survei ini dilakukan oleh Klinik Pemilu, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, yang bekerjasama dengan Bawaslu Kaltim saat itu. Survei ini mengambil lokus di Desa Loa Duri Ilir dengan 600 responden yang telah memiliki hak pilih. 

Dalam hasil survei tersebut, masyarakat yang menjadi responden ditanya soal alasan menerima uang atau barang dari kandidat. Ada 50% responden menjawab bahwa sayang jika ditolak karena rezeki. Dan 28% menganggap itu hal biasa, 13% berpendapat bahwa penerimaan tersebut untuk mencari keuntungan dari kandidat, sedangkan 9% akan memilih kandidat yang akan membayar, seperti dikutip pada Bontangpost.

Hasil survei di atas mewakili wajah Indonesia. Ini menandakan bahwa sebagian besar masyarakat mengangap bahwa politik uang yang terjadi merupakan hal biasa untuk mendapat keuntungan dan rezeki. Namun jika berkaca dari hal-hal tersebut, maka hal yang dianggap berkah tersebut kemudian berubah menjadi musibah, seperti sebelumnya telah dipaparkan. 

Politik Uang adalah racun atau penyakit sistemik. Seperti bakteri Botullinum yang tidak berbahaya jika berada di lingkungan normalnya, namun ia akan melepaskan racun berbahaya jika kekurangan oksigen dan itu dapat mengakibatkan manusia yang keracunan mengalami kegagalan organ vital dan sesak napas lalu berujung kematian.

Begitu pula dengan demokrasi kita. Betapa mengerikannya sistem demokrasi kita jika begitu banyak elite meraih kekuasaan dengan uang. Rakyat sebagai basis politik negara modern menjadi mangsa para buas: kuasa materi yang mematikan sendi demokrasi.

Di sini kita lalu kembali mengingat para sepuh Yunani Kuno itu tentang Oligarki yang alih-alih membawa perubahan dalam demokrasi elektoral justru memperkuat siklus politik untuk menjadi hartawan dan berharta demi kekuasaan politik. Demi untuk merebut dan menguasai sumber daya ekonomi, memupuk dan mengakumulasi kekayaan. 

Oligarki mencetak politikus, pejabat politik, birokrat dan jaringan patronasenya dalam sistem yang korup. Dalam praktik demokrasi sangat umum diterima politik menjadi urusan para pakar. Dan ketika kaum berpengetahuan membutuhkan legitimasi kekuasaan lewat pemilihan umum, maka donasi kampanye merupakan sarana para oligark modal untuk memenuhi hasrat kaum berpengetahuan yang tak terbatas akan uang. Dengan mendonasikan materi untuk kampanye, para pemodal menyetir para penguasa politik.

Pilkada tak pernah sepi dari lumuran 'politik uang'. Oligarki lapisan orang kaya yang berkuasa tetap menjadikan demokrasi elektoral ini terus berada di bawah kepentingannya, dengan menyediakan uang bagi pasangan calon yang dijagokan dan kelak sebagai imbalan adalah peneguhan kekuasaan ekonominya juga perlindungan. 

Oligarki menemukan jalannya sendiri dengan membangun sistem politik uang, demokrasi elektoral dikontrol dengan menempatkan kekuatan materi dalam memenangi pemilihan itu sehingga elite politik yang berlaga dalam kontestasi politik semakin bergantung pada kekuatan tersebut.

Kekuatan oligarki pemodal sudah menjadi jaminan dalam politik. Dapat dipastikan dalam setiap perhelatan pemilihan lima tahun yang bertarung adalah para oligarki. Di mana mereka mengerahkan kekuatan modal untuk meraih dukungan rakyat. Dengan begitu, Pemilu dan Pilkada selalu diisi lumuran politik uang untuk 'membeli' suara rakyat. 

Bagi kaum oligark, uang adalah simbol. Menganggap uang sebagai tujuan akhir menjadikan manusia menjadi budak-budak konyol. Demokrasi yang terbajak oligarki--segenap kebijakannya semata untuk kepentingan eksklusif para elite, pengusaha dan rekanannya. Tidak heran, bila negara-negara dengan demokrasi setengah matang, kesejahteraan rakyat begitu tersendat.

Dalam situasi dan iklim politik yang demikian, maka politik sedang menghidupkan racun penyakit dalam tubuh demokrasi. Racun pembunuh yang dihasilkan dalam tubuh demokrasi kita sendiri. Kekuatan uang untuk membeli kekuasaan, jabatan dan loyalitas, menghasilkan pembunuh demokrasi dalam tubuh demokrasi itu sendiri.

Kaum oligarki selalu hadir dan waspada pada saat-saat pencanangan demokrasi. Berupaya masuk dalam berbagai aspek untuk memastikan bahwa berbagai jaminan perlindungan kekayaan dapat pula dimasukkan dalam institusi dan praktik pemerintahan pastisipatoris. 

Itu sebabnya para pemimpin terpilih yang menikmati dukungan akar rumput sering kali tidak mengikuti pemilihan itu berdasarkan konsekuensi dari inisiatif atau politik akar rumput. Mata kita seperti disulap. Bahwa kenyataannya, semua dukungan yang terlihat tersebut hanya dimungkinkan karena langkah oligarki sebelumnya. Dengan kuasa kekayaannya, mengusung kandidat di hadapan pemilihnya.

Hal ini mengkhawatirkan dan membuat kita berharap pada hukum. Namun potensi hukum untuk membatasi perilaku oligark pada kasus-kasus serupa sebelumnya, kini, dan nanti, terasa masih sulit. Jangankan dalam jangka menengah, dalam jangka pendek saja, gelap.    

Wallahu a’lam.


Share Tulisan Revelyno M. Hitiyahubessy


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca