× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#ESAI

Dosen, Manusia Cerdas 'Berkepala Tiga'

Guru Besar Antropolinguistik FIB Universitas Khairun.
Dosen, Manusia Cerdas 'Berkepala Tiga'
Ilustrasi: Pixabay.

04/08/2020 · 5 Menit Baca

Ada 4.655 perguruan tinggi di Indonesia dan ada total 304.788 dosen. Sudah berpuluh tahun dosen Indonesia mengemban “tri dharma perguruan tinggi.” Mereka mengajar dari kelas ke kelas; meneliti di laboratorium dan lapang; juga melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Dalam satu tahun akademik, dosen melaksanakan tiga tugas sekaligus: mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Dosen seperti manusia cerdas “berkepala tiga”: memikirkan dan melaksanakan tiga tugas sekaligus sepanjang tahun. 

Kalau kita membaca secara jernih, tidak semua dosen Indonesia melakukan tiga tugas ini secara imbang. Ada dua faktor penyebab tidak imbangnya pelaksanaan tri dharma, yaitu waktu dan renjana, passion. Tidak cukup waktu bagi dosen dalam satu tahun akademik untuk melaksanakan tri dharma perguruan tinggi secara imbang. Ada dosen yang hebat di kelas, tetapi cukup sulit merampungkan riset dengan baik. Sebaliknya, ada dosen yang berhasil dalam risetnya, tetapi tidak begitu artikulatif menjelaskan temuannya di kelas. Tidak semua dosen punya kemampuan multitasking. Dengan kata lain, hanya ada sangat sedikit dosen yang imbang kemampuan mengajar, meneliti, dan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat.

Di antara kesibukan mengajar dan meneliti, dosen juga harus melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Padahal, dosen yang sibuk mengkhidmati teori di kelas; menguji kecocokan teori dengan fakta-data di lapangan; dan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat adalah dosen yang kehilangan banyak waktu untuk memastikan tugas tri dharma dilaksanakan secara imbang. Kalau sudah begini, dua hal terjadi, kelas pembelajaran kurang bermutu, penelitian sulit manawarkan kebaruan, novelty, dan tidak memberi sumbangsih pada pengembangan ilmu. Ini akan berpengaruh pada kualitas tulisan hasil penelitian untuk jurnal-jurnal terindeks internasional semisal Scopus. Pada titik ini, banyak dosen mengerjakan tri dharma secara business as usual. Inovasi kelas kuliah dan kebaruan penelitian hampir pasti belum menjadi capaian masif semua dosen Indonesia.

Sebab itu, salah satu jalan utama untuk memastikan kelas kuliah, kegiatan penelitian, dan pengabdian kepada masyatakat berjalan imbang adalah dengan membagi fungsi dan tugas dosen menjadi tiga kelompok renjana: dosen pengajar, dosen peneliti, dan dosen pengabdi. Mereka berkerja secara tripartit untuk saling menguatkan. Dosen pengajar berkhidmat dan mendiskusikan teori di kelas, sebaliknya dosen peneliti membawa temuan dari lapang ke dalam kelas; dan dosen pengabdi menyampaikan masalah-masalah sosial ke dalam kelas kuliah dan  kegiatan penelitian. Dengan begitu, kita akan mendapatkan empat keuntungan sekaligus: dosen semakin ahli pada renjananya, kelas kuliah semakin dinamis, riset semakin menawarkan kebaruan, serta pengabdian yang memberi rekomendasi aplikatif bagi pembangunan masyarakat.

Meskipun tampaknya sederhana, pengelompokan tugas dosen berbasis kelompok renjana dalam relasi kerja tripartit akan menjadi “tuas pengungkit” kualitas pengelolaan pendidikan tinggi. Paradigmanya, meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari dulu; dan hulunya adalah dosen. 

Program prioritas untuk ini adalah “penguatan kelas pembelajaran, peningkatan mutu penelitian, pengefektikan pengabdian kepada masyarakat melalui relasi kerja triparit dosen pengajar-dosen peneliti-dosen pengabdi.” Peta jalan untuk lima tahun ke depan: tahun pertama, asesmen pemetaan kompetensi bagi penetapan renjana/kegemaran dan penyusunan model kerja sama tripartit dosen; tahun kedua, peningkatan mutu renjana/kegemaran dosen dan perbaikan model kerja sama tripatit; tahun ketiga dan keempat, penaikan derajat kerenjanaan dosen; dan tahun kelima evaluasi atas kerenjanaan dan rekomendasi perbaikan kerja sama tripartit bagi rencana lima tahun ke depan.

Tiga kelompok renjana dosen bekerja secara tripartit untuk memastikan tri dharma perguruan tinggi dilaksanakan secara imbang. Inilah hulu dari upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi; dari titik ini semua dosen “merdeka belajar,” melaksanakan tugas-tugas tridharma dengan gembira karena sesuai renjana, passsion-nya. Ada dosen pengajar, ada dosen peneliti, dan ada dosen pengabdi. Mereka berkolaborasi.[]
 


Gufran A. Ibrahim, dengan nama pena Ibrahim Gibra, lahir di Waigitang, Makeang, Halmahera Selatan, Maluku Utara, 28 September 1963. Menikah dengan Siti Sarah GF tahun 1994 dan dikarunia seorang putri, Dini De Ibrahim. Satu sajaknya, Dari Kopra yang Sama pernah dimuat di Bentara Budaya Kompas, 2002, dan dalam antologi Puisi tak Pernah Pergi (Hasif Amini, 2003, Kompas Gramedia). Ia juga telah menerbitkan antologi cerpen Dinding Ayah (LepKhair, 2005). Delapan cerpen dalam antologi ini pernah dimuat di Harian Fajar dan Pedoman Rakyat, Makassar, sepanjang tahun 1998—2000. Dua buku kumpulan artikel telah ditulisnya, Mengelola Pluralisme (Grasindo, 2004) dan Metamorfosis Sosial dan Kepunahan Bahasa (LepKhair, 2008). Gufran A. Ibrahim menulis artikel ihwal bahasa, masalah sosial budaya, demokrasi, dan literasi di Kompas dan di sejumlah koran lokal. Sebagai dosen, Gufran A. Ibrahim adalah Guru Besar Antropolinguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun, Ternate. Semasa bertugas di kampus, ia pernah mengemban amanah sebagai Sekretaris Balai Penelitian  Universitas Khairun (1989—1990) dan Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1993—1995 (saat Universitas Khairun masih berstatus sebagai PTS)), Pembantu Rektor Bidang Akademik (2005—2009), dan Rektor Universitas Khairun (2009-2013). Sejak 25 Agustus 2015 ia berpindah ke Jakarta dan bertugas di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di sini ia dua kali berpindah tugas dan tiga kali dilantik. Tanggal 25 Agustus 2015—21 Maret 2018 menjadi Kepala Pusat Pembinaan; tanggal 25 September 2018—21 Maret 2019 menjadi Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan; sejak 21 Maret 2019—4 Juni 2020 menjadi Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan; dan bersamaan dengan itu sejak 2 Januari—4 Juni 2020 ditugasi sebagai pelaksana tugas Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam kaitannya dengan  program literasi, ia ditugasi sebagai Ketua Kelompok Kerja Literasi Membaca dan Menulis, Gerakan Literasi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selama bekerja 4 tahun 9 bulan 9 hari di Badan Bahasa, Gufran A. Ibrahim punya kesempatan menjadi penguji dan ko-promotor pada Program Doktor Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan menjadi penguji serta promotor pada Program Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Dengan nama pena Ibrahim Gibra, ia telah menulis antologi sajak pertama, Karang Menghimpun Bayi Kerapu (Penerbit Jual Buku Sastra, 2019). Kini Ibrahim Gibra telah merampungkan antologi sajak kedua, Nikah Daun-Daun, Resepsi Pohon-Pohon (sedang dalam proses penerbitan) dan antologi ketiga, Makrifat Laut (sedang dalam penyuntingan). Dengan nama Gufran A. Ibrahim, ia juga telah merampungkan buku kumpulan artikel yang pernah terbit di Kompas dan koran lainnya dengan rencana tajuk Bertutur di Ujung Jempol: Esai Bahasa, Pendidikan, Agama, dan Demokrasi (sekarang sedang ada di penertbit).  Sejak 4 Juni 2020, Gufran A. Ibrahim kembali bertugas sebagai dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun.  Gufran A. Ibrahim dapat dihubungi via ibrahim.kakalu@gmail.com


Share Tulisan Gufran A. Ibrahim


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca