× Humaniora Kesehatan Lingkungan Gaya Hidup Perempuan Agama Seni Budaya Sastra Sosok Wisata Resensi Nawala Intermeso Esai Media
#ESAI

Identitas

“Pembeda” tak bisa dominan. Tak boleh terjerumus pada penguatan dan pembenaran sepihak.

Direktur LSM RORANO
Identitas
Ilustrasi: lefo.id

17/08/2020 · 5 Menit Baca

Kamala bukan nama biasa. Lengkapnya Kamala Devi Harris. Semula saya mengira perempuan ini sebangsa, merujuk namanya yang familiar. Mirip dengan nama kebanyakan  artis pendatang baru yang rutin bermunculan saban bulan. Nama Kamala mulai viral sejak kandidat Presiden AS dari partai Demokrat, Joe Biden mentweet sosoknya sebagai calon Wakil Presiden AS. “Kamala adalah pejuang yang tak kenal takut bertarung untuk kepentingan rakyat kecil dan salah satu pelayan rakyat terbaik,” tulis Biden.

Panggil saya “Comma-la”. Mirip tanda baca. Begitu perempuan kulit hitam dan kandidat keturunan India pertama yang dipilih oleh partai besar di AS ini memperkenalkan diri dalam otobiografinya The Truths We Hold. Ia lahir di Oakland California pada 20 Oktober 1964, buah cinta dari Ibunya - Shyamala Goppalan - seorang wanita kelahiran India yang bekerja sebagai peneliti kanker payudara di Berkeley Laboratorium dan Ayahnya - Donald Harris - seorang profesor ekonomi emeritus Universitas Stanford yang lahir di Jamaika.

"Mudah-mudahan ini menandakan perubahan yang luar biasa di Partai Demokrat dengan akhirnya mengakui pentingnya orang kulit hitam dan terutama wanita kulit hitam," kata Angela Rye, pakar strategi politik Demokrat.

Sosok Kamala adalah percampuran yang unik. Pada tahun 2016, Ia jadi anggota Senat AS dari Demokrat yang terpilih mewakili California. Perempuan kulit hitam blasteran India-Jamaica ini sebelumnya adalah Jaksa Agung di negara bagian itu. Di tubuhnya mengalir darah Asia dan Afrika yang bertaut. Kamala dibesarkan dalam ajaran agama Hindu dan Kristen yang saling mengasihi. Ia sebagaimana “bunga teratai” dalam bahasa India menunjukan identitas yang guyub. Tak rentan saat arus deras menghayutkan. Ia menawarkan sesuatu yang dibutuhkan Amerika saat ini. “Melindungi konstitusi dan menegakkan keadilan,” kata mantan Presiden Obama.

Konstitusi dan keadilan adalah identitas Amerika. Dikampanyekan secara vulgar tak hanya dalam sistim bernegara tetapi juga lewat film Hollywood, pendidikan, etos kerja dan model berpolitik. Terlihat ideal meski dalam keseharian, keduanya kerap gagal untuk saling bekerjasama - melindungi rakyat. Deklarasi Kemerdekaan Amerika menegaskan bahwa “semua orang diciptakan setara”. Setara di sini berarti ada persamaan yang dijamin konstitusi. Ada keadilan yang berkelindan dengan kebenaran didalamnya.

Namun sejarah mencatat dan bahkan hingga kini, tak ada kesepakatan tentang siapa yang dimaksud “semua orang”. Saat Deklarasi ditandatangani, “sekumpulan orang” yang berkumpul itu menafikan mereka yang berbeda. Yang berkulit hitam, budak, penduduk asli Amerika, perempuan atau bahkan warga kulit putih yang miskin sama sekali tak dilibatkan.

Anomali tentang “semua orang” ini belakangan melahirkan kelompok-kelompok yang membangun identitas sendiri. Mereka menuntut penghormatan atas identitas itu. Ketika Martin Luther King berjuang untuk kesetaraan, kampanyenya tak lebih pada tuntutan agar warga kulit hitam diperlakukan sama dengan kulit putih. Belakangan kesadaran ini berubah jadi nilai dan kebanggaan bahwa warga kulit hitam tak perlu hidup mengikuti aturan dan gaya hidup kelas sosial lain karena mereka punya identitas.

Gerakan Black Lives Matter dan #MeToo yang menohok konstitusi itu jadi pengingat bahwa komitmen untuk “semua orang” sejatinya masih bergumul dengan sentiment de I’existence, meminjam pendapat Rousseau bahwa sentimen pertama seorang manusia adalah eksistensinya. Dalam dinamika sosial, sentimen itu bermuara pada pengakuan personal. Ada “kemerdekaan” individu yang diperjuangkan sebagaimana penggalan puisi Wiliam Holmes Border : saya mungkin miskin, tetapi saya - seseorang.

Mungkin dengan itu, kita memahami penjelasan Stella Toomey tentang identitas sebagai cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis maupun proses sosial. Ada pergulatan yang menonjolkan ciri, tanda atau jati diri. Tesis ini sepaham dengan pendapat Fukuyama yang meyakini setiap individu memiliki dorongan untuk dihormati dan diakui. Karena itu, identitas tumbuh sebagai pembeda antara diri seseorang dengan dunia luar. Pembeda di sini sejatinya bukan tembok tebal. Ia lebih mirip masker wajah yang rutin dipakai selama masa pandemi coronavirus. Fungsinya lebih pada melindungi diri sendiri dan juga orang lain. Ada imajinasi yang saling memeluk.

“Pembeda” tak bisa dominan. Tak boleh terjerumus pada penguatan dan pembenaran sepihak terkait simbol-simbol agama, sekte, ras, etnis dan gender. Karena itu, Amerika butuh Komala. Sosok perempuan, berkulit hitam, berlatar belakang campuran Asia-Afrika. Butuh pembeda untuk menguji konstitusi “semua orang diciptakan setara”. Sebagaimana kita butuh satu bahasa yang menyatukan. Jadi identitas bersama untuk merekatkan begitu banyak perbedaan.

Sembilan puluh lima tahun lalu, Tan Malaka adalah orang pertama yang menggunakan nama Indonesia dalam tulisannya Naar De Republiek Indonesia (menuju Republik Indonesia). Sebuah brosur propaganda yang terbit di Kanton, April 1925. Cetakan kedua brosur kecil ini delapan bulan kemudian menyebar hingga ke Indonesia dan menginspirasi Soekarno, Muhammad Yamin, Hatta dan banyak pejuang pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Bung Karno yang saat itu jadi ketua klub debat di Bandung selalu membawa karya Tan. Ia bahkan ditahan Belanda karena kedapatan membawa brosur terlarang ini. Indonesia yang dibayangkan berbentuk Republik adalah sebuah identitas kebangsaan.

Tan menurut saya tentu sangat paham, sebuah bangsa yang satu bukanlah warisan biologis masa lalu. Apalagi jejaknya berserakan meliputi sebuah wilayah luas dari Sabang hingga Merauke. Bangsa harus dikonstruksikan secara sosial dari atas ke bawah atau sebaliknya. Ada banyak kepentingan dan kebiasaan yang diakomodir. Butuh keberanian untuk mempertaruhkan keyakinan.

Kata Sutan Sahrir: “hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan dimenangkan”.

Pilihan Republik menegaskan visi jangka panjang yang berkaitan dengan “kehendak umum”. Tesis Tan ini direplikasi dalam “Sumpah Pemuda” tiga tahun kemudian. Sebuah sumpah imajiner pada Oktober 1928 yang seolah-olah menyatukan keberagaman sebuah bangsa yang belum lahir. Membayangkan sebuah cita-cita bernegara yang adil dan mensejahterakan. Membayangkan disini tak berkorelasi dengan kepastian.

Semasa kecil, kita membayangkan identitas sebatas pengakuan diri yang tertulis di secarik kertas. Ada nama, tempat tanggal lahir, agama, alamat, kewarganegaraan, hobi, dan cita cita. Deretan data ini didekap sebagai kepastian. Tak boleh berubah. Namun hidup penuh tikungan tajam. Ada kalanya kita terjerembab dalam kubangan ketidakpastian. Keadilan jadi mimpi yang sulit dijangkau. Kesejahteraan belum sepenuhnya merata.

Dulu kita bercita-cita bersekolah setinggi mungkin. Ada yang ingin jadi presiden, dokter, insinyur, polisi, pedagang papan atas, astronot, bintang sepak bola, dan banyak lagi.  Seiring waktu, cita-cita yang tertulis di kertas-kertas itu saat sekolah dasar tak semuanya berwujud sama. Tak sedkit yang jadi guru honor, pegawai tidak tetap, ojol, preman kampung atau pengangguran. Kamala mungkin tak pernah bercita-cita memimpin Amerika. Tan Malaka juga tak menyangka Republik ini akan bertahan utuh hingga usia 75 tahun.

Kita butuh kesepakatan bersama. Identitas personal yang berkaitan dengan kebangsaan mesti dikemas sebagai "digital fortess” berisi keyakinan bahwa negara akan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Tak boleh tergerus oleh centang-perenang ambisi dan kerakusan individu. Hidup harus berlanjut dengan martabat kemanusiaan yang menyatukan perbedaan. Di ujungnya, biarlah setiap kita menentukan masa depan sendiri.


Share Tulisan Asghar Saleh


Tulisan Lainnya

Benny

#ESAI - 10/08/2021 · 15 Menit Baca

Delusi

#ESAI - 03/08/2021 · 15 Menit Baca

Saturasi

#ESAI - 26/07/2021 · 15 Menit Baca